Khasanah Gramatika Bahasa Arab: Mengenal Kitab Nahwu al-Kawâkib al-Durrîyah

Pengantar

Dalam bukunya Essentials of Arabic Grammar for Learning Quranic Language, Zahoor Ahmed menjelaskan bahwa Islam merupakan panduan ilahi yang dirancang untuk seluruh umat manusia di bumi, dengan Nabi Muhammad (SAW) sebagai utusan universal Allah (SWT). Hal ini ditegaskan dalam Surah 34, Ayat 28 Al-Qur’an, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad (SAW) diutus untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada seluruh manusia, meskipun banyak yang tidak menyadarinya.

Al-Qur’an, sebagai kitab petunjuk, adalah sumber pengetahuan dan pedoman perilaku universal yang diturunkan dalam bahasa Arab untuk keselamatan umat manusia. Dua ayat berikut menegaskan hal ini:

“Sesungguhnya Kami menurunkannya dalam bentuk Al-Qur’an berbahasa Arab, agar kamu dapat memahaminya” [12:1].

Untuk dapat memanfaatkan pengetahuan dan bimbingan ilahi ini secara efektif, mempelajari bahasa Al-Qur’an adalah suatu keharusan. Terjemahan kitab suci sering kali tidak mampu menggantikan pemahaman yang mendalam yang diperoleh dari teks asli. Allah (SWT) telah berulang kali menekankan pentingnya memahami pesan-Nya secara langsung dari teks Arab. Ini tercermin dalam dua ayat berikut:

“Kitab yang penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu, agar mereka merenungkan ayat-ayatnya, dan agar orang-orang yang berakal dapat mengingatnya” [38:29].

“Maka apakah mereka tidak memikirkan secara mendalam Al-Qur’an atau hati mereka terkunci (dari pemahamannya)” [47:24].

Dalam Surah 2, Ayat 121, kata kerja bahasa Arab ‘yatlu’ memiliki makna yang luas—meliputi membaca, memahami, dan taat. Ayat ini menegaskan bahwa memahami Al-Qur’an secara benar memerlukan pengetahuan mendalam tentang teksnya, dan mereka yang benar-benar beriman adalah mereka yang membaca dan memahami Al-Qur’an sebagaimana mestinya.

Sayangnya, banyak umat non-Arab yang belum memahami teks Al-Qur’an dalam bahasa aslinya. Penting untuk dicatat bahwa bahasa Arab, meskipun tampak kompleks, memiliki aturan dan pola yang sistematis sehingga relatif mudah dipelajari. Allah SWT menegaskan hal ini dalam ayat:

“Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan Al-Qur’an mudah untuk diingat, maka adakah orang yang mengingatnya?” [54:17].

Ini adalah tantangan bagi mereka yang mencari kebenaran. Mempelajari bahasa Arab membutuhkan usaha dan komitmen, tetapi ini adalah langkah penting untuk memahami wahyu ilahi dengan lebih baik. Hadis Nabi Muhammad (SAW) juga memberikan penekanan pada pentingnya mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an:

Utsman bin ‘Affan (RA) meriwayatkan bahwa Rasulullah (SAW) bersabda: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain)” [Al-Bukhari].

Sebelum Al-Qur’an diturunkan, Bahasa Arab adalah bahasa asli dengan sistem tata bahasanya yang unik yang sudah berkembang ribuan tahun sebelum peradaban Yunani (Lihat Solehah Hj Yaacob, “The Conflict of Theory in Arabic Grammar”, International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 4. No. 1. January 2014).

Pasca Islam, ilmu bahasa Arab dengan berbagai cabangnya merupakan ilmu yang penting dan berkembang pesat terutama sekali bertujuan untuk memahami teks-teks Al-Qur’an, hadis, dan kitab-kitab para ulama klasik.

Sejarah bahasa Arab dari beberapa sumber Abu al-Aswad al-Du’ali diakui sebagai yang pertama, karena ia memperkenalkan tanda diakritik dan vokal pada pertengahan abad ke-7. Namun, ada juga yang menyebut Ibn Abi Ishaq, yang meninggal pada tahun 735/736 M, sebagai ahli tata bahasa awal.

Pada akhir abad ke-8, mazhab Basra dan Kufa mengembangkan aturan tata bahasa Arab seiring dengan pesatnya perkembangan Islam, dengan menggunakan Quran sebagai referensi utama. Sekolah Basra, yang umumnya dianggap didirikan oleh Abu Amr ibn al-Ala, menghasilkan dua tokoh penting: Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, yang menulis kamus bahasa Arab pertama dan buku tentang prosodi, serta muridnya Sibawayh, yang menulis karya pertama tentang teori tata bahasa Arab. Di sisi lain, mazhab Kufah dipimpin oleh Al-Ru’asi, meskipun karyanya hilang, dan pengembangan mazhab ini dilakukan oleh penulis-penulis berikutnya. Kontribusi al-Farahidi dan Sibawayh memperkuat posisi Basra dalam analisis tata bahasa, sedangkan Kufa lebih dikenal sebagai penjaga puisi dan budaya Arab.

Di antara ahli tata bahasa Arab yang paling mashur dan paling berpengaruh adalah Abu Bisyr Amr bin Utsman bin Qanbar Al-Bishri, yang lebih dikenal sebagai Sibawaih. Ia adalah penulis karya berjudul al-Kitâb, yang dijuluki “al-Qur’ân al-Nahw” atau “kitab sucinya ilmu nahwu”, merupakan kitab tata bahasa Arab pertama yang diterbitkan. Meskipun ia merupakan seorang Persia dan tidak berbicara bahasa Arab sebagai bahasa ibunya, kontribusinya sangat signifikan dalam perkembangan ilmu bahasa Arab. Sibawaih belajar dari Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi dan Yunus bin Habib, dua tokoh penting dalam bidang bahasa.

Dalam bahasa Arab, terdapat tiga belas cabang ilmu yang masing-masing berfokus pada aspek spesifik dari penggunaan dan pemahaman bahasa. Untuk memulai penguasaan bahasa Arab, dua cabang ilmu yang sangat penting adalah Sarf dan Nahwu. Sarf berfokus pada morfologi dan perubahan bentuk kata, sementara Nahwu mengatur tata bahasa dan struktur kalimat. Selain dua ilmu di atas, beberapa cabang ilmu lain seperti Ilmu Balaghah, mencakup seni memperindah bahasa melalui penguasaan makna kata, teknik penyampaian pesan yang efektif, serta aspek estetika dalam ucapan. Ada pula ilmu Ma’ani, yang mempelajari makna kata dari berbagai sudut; ilmu Qardush-Syi’r, yang mengkaji puisi dan versifikasi; ‘Arudu, yang mengatur metrik puisi; dan Qawafi, yang membahas rima akhir baris puisi. Selain itu, Khatabah atau seni berbicara di depan umum tanpa bantuan teks, serta Tarikh atau sejarah bahasa yang meliputi perkembangan bahasa dan tokoh-tokohnya, juga merupakan bagian dari studi bahasa Arab.

Ketiga belas cabang ilmu bahasa Arab itu diringkaskan dalam sebuah syair klasik yang diterjemahkan oleh Abu Tawbah ke bahasa Inggris berikut ini:
“The sciences of Arabic
Are thirteen arts of Rhetoric
Start off with Sarf then NaHwu
do Ar-Rasmu plus al-Inshaa-u
Balaagha break it down in three
Bayaan, Badee’u, Ma-‘aaanee
Then QarDush-Shi’r or Poetry
‘ArooDu mix with Qawaafee
KhaTaaba brings the art of Speech
And History is what they teach
If texts of old Mutoon you seize
Then know you’ve gathered all the keys”
(“lmu-ilmu Bahasa Arab ada tiga belas seni Retorika. Mulailah dengan Sarf lalu Nahwu, pelajari Ar-Rasmu ditambah al-Insha’. Balaghah dibaginya menjadi tiga Bayan, Badi’ , Ma’ani, kemudian Qardush-Shi’r atau Puisi
ditambah dengan Qawafi. Khataba mengajarkan seni berbicara. Dan Tarikh adalah apa yang mereka ajarkan. Jika teks-teks klasik Mutun Anda kuasai. Maka ketahuilah Anda telah mengumpulkan semua kuncinya.”)

Dari ketiga belas cabang ilmu bahasa Arab di atas, ilmu nahwu dan Shorof adalah fondasi utama dalam memahami dan menggunakan bahasa Arab secara efektif, sehingga penting untuk mempelajarinya sebagai langkah awal dalam perjalanan pembelajaran bahasa Arab.

Khasanah Kitab Pelajaran Nahwu dan Shorof

Di atas, sudah disampaikan bahwa ilmu dasar yang sangat penting untuk dipelajari agar memahami bahasa Arab adalah gramatika (Nahwu) dan ilmu pembentukan kata (Shorof). Dalam mempelajari Nahwu, ada beberapa kitab yang direkomendasikan untuk mendalami tata bahasa Arab. Di antaranya adalah Matn Al-Ajrumiyah karya Ibn Ajurrum, yang sering dipelajari bersama dengan syarahnya seperti At-Tuhfah As-Saniyyah oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid dan Syarhu Al-Kafrawi oleh Hasan Al-Kafrawi Al-Azhari. Kitab-kitab lain yang juga penting adalah Mulhatu Al-I’rab oleh Jamaluddin Al-Hariri, Syarhu Syudzuru Adz-Dzahab oleh Jamaluddin Ibnu Hisyam, serta Alfiyah Ibnu Malik yang sering disertai dengan penjelasan dari Bahauddin bin Aqil.

Adapun untuk mempelajari Shorof, beberapa kitab yang disarankan termasuk ‘Aunu Al-Ma’bud oleh Abu Abdirrahman bin Ibrahim Muhammad Al-Faqih Al-Qadimi dan Durusu At-Tashrif oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Syarhu At-Taftazani karya Imam Sa’aduddin At-Taftazani juga merupakan referensi penting, demikian pula dengan Tadrij Al-Adani oleh Abdul Haqq Al-Jawi dan Al-Mumti’ oleh Ali bin ‘Ushfur. Kitab-kitab ini menyediakan panduan mendalam tentang ilmu shorof dan sangat bermanfaat bagi yang mendalami bahasa Arab secara mendetail.

Al-Kawakibud Durriyah: Kitab Nahwu Lanjutan yang Sangat Komprehensif

Di kalangan santri dan pelajar ilmu gramatika Arab, kitab Al-Kawakibud Durriyah ‘ala Mutammimah Al-Ajrumiyah (Beirut: Darul kutubul ‘Ilmiyyah, 2 jilid) dikenal sebagai salah satu karya terpopuler dalam bidang nahwu. Kitab ini merupakan kelanjutan dari Mutammimah Al-Ajrumiyah, dengan penjelasan yang lebih mendalam dan luas dibandingkan karya gramatika Arab lainnya.

Kitab Al-Kawakib adalah salah satu penjelasan (syarah) yang paling sering digunakan dan termasuk dalam daftar tata bahasa Arab klasik yang terkenal, yaitu al-Ajrumiyah, karya Ibn Ajrum (672-723 H). Meski bangsa Arab telah mengembangkan metode formal dan sistematis untuk mengajarkan tata bahasa Arab kepada anak-anak jauh sebelum kitab ini muncul, kitab ini menonjol karena kejelasannya yang sangat baik dibandingkan dengan kitab lainnya. Setelah lebih dari tujuh ratus tahun sejak penulisnya meninggal, kitab ini masih dipelajari di seluruh dunia Arab dan telah terbukti tahan uji waktu.

Berbeda dari kitab-kitab lain yang lebih fokus pada rumus dasar nahwu, Al-Kawakibud Durriyah menyajikan penjelasan yang sangat detail mengenai berbagai aspek dan cabang ilmu nahwu, lengkap dengan contoh-contoh praktis.

Kitab ini ditulis oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari Al-Ahdal pada pertengahan abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap permintaan ulama pada masa itu. Syekh Muhammad Al-Ahdal berkomitmen untuk memberikan penjelasan yang lebih luas dan mudah dipahami mengenai Mutammimah Al-Ajrumiyah.

Syekh Muhammad Al-Ahdal, yang dikenal juga sebagai Mufti Tihamah, lahir pada tahun 1241 Hijriah (1826 Masehi) di Tihamah, Yaman. Ia adalah seorang ulama kontemporer dengan penguasaan mendalam dalam berbagai cabang ilmu syariat, termasuk nahwu, hadits, dan fiqih. Syekh Muhammad Al-Ahdal wafat pada tahun 1298 Hijriah (1880 Masehi). Ia dikenal memiliki nasab yang bersambung dengan Rasulullah saw melalui Sayyidina Husain.

Selain Al-Kawakibud Durriyah, Syekh Muhammad Al-Ahdal juga menulis berbagai karya dalam bidang fiqih dan hadits, seperti Tahzirul Ikhwan min Tashdiqil Kuhhan, Bughyatu Ahlil Atsar, dan Sullamul Qari ‘ala Hasyiyah Shahihil Bukhari.

Adapun Kitab al-Kawakib disusun oleh Syekh Muhammad Al-Ahdal untuk memenuhi permintaan mendalam dari para kolega dan pelajar ilmu pada waktu itu untuk penjelasan yang lebih mendetail dan mudah dipahami mengenai Mutammimah Al-Ajrumiyah, ia akhirnya menulis kitab ini untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Sistematika kitab al-Kawakib tidak berbeda dengan kitab-kitab nahw lainnya. Kitab ini berisi pembahasan sebagai berikut: Bab Tentang Pembahasan Kalam; Bab tentang i’rab dan bina; Bab Tentang Pemeliharaan Tanda-Tanda l’rab; Fasal Tentang Kalimat-kalimat Yang Di I’rab; Fasal Tentang Kalimat Yang Di I’rab Dengan Harkat yang Ditakdirkan; Fasal tentang isim tegah sharaf; Bab Tentang Nakirah Dan Marifah; Fasal Tentang Isim Dzamir; Fasal Tentang Isim ‘Alam; Fasal Tentang Isim Isyarah; Fasal Tentang Isim Maushul; Fasal Tentang Isim Yang Ma’rifah Dengan Alif dan Lam; Fasal Lafaz Yang di Idhafahahkan kepada Isim Ma’rifah; Bab Tentang Isim-Isim yang Marfu’; Bab Tentang Fa’il; Bab Tentang Naibu Fa’il; Bab Tentang Mubtada dan Khabar; Bab ‘Awamil Yang Masuk di Mubtada dan Khabar; Fasal tentang كان dan saudaranya; Bab Tentang Kalimat Yang Diserupakan Dengan لَيْسَ‎; Fasal Tentang Hukum Fi’il Muqaarabah; Fasal Tentang إِنَّ dan Saudaranya; Fasal tentang La Nafi Jinsi; asal tentang dhonna dan Saudaranya; Bab Tentang Isim-isim yang Dinashabkan; Bab Tentang Maf’ul Bih; Bab Tentang Isytighal; Bab Tentang Munada; Bab Tentang Maf’ul Muthlaq; Bab Tentang Maf’ul Fih; Bab Tentang Maf’ul Min Ajlih; Bab Tentang Maf’ul Ma’ah; Fasal tentang Musyabbah dengan Maf’ul; Bab Tentang Hal; Bab Tentang Tamnyiz; Bab Tentang Mustastna; Bab Tentang Mahfudhat Dari Isim-Isim; Bab Tentang I’rab Segala Fi’il; Bab Tentang Na’at; Bab Tentang ‘Athaf; Bab Tentang Taukid; Bab Tentang Badal; Bab Tentang Isim-isim Yang Beramal; Bab Tentang Ta’ajjub; Bab Tentang ‘Adad; dan Bab Tentang Waqaf.

Kesimpulan

Kitab Al-Kawakib al-Durriyah merupakan salah satu referensi penting dalam mempelajari gramatika bahasa Arab secara mendalam, khususnya sebagai kelanjutan dari Mutammimah Al-Ajrumiyah. Ditulis oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari Al-Ahdal, kitab ini menawarkan penjelasan yang sangat terperinci mengenai berbagai aspek nahwu, termasuk i’rab, bina, dan berbagai jenis kalimat serta tata bahasanya. Dengan sistematika yang terstruktur, Al-Kawakib al-Durriyah melengkapi pemahaman gramatikal (nahw) dengan detail yang diperlukan oleh pelajar dan ulama untuk menguasai tata bahasa Arab dengan lebih baik. Ini menjadikannya sebagai alat bantu penting dalam memahami dan mengajarkan Al-Qur’an dan karya-karya Arab klasik lainnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top